Berita Utama

Gambar tema oleh kelvinjay. Diberdayakan oleh Blogger.

Aktivitas Kami

Kolom Santri

Kolom Guru

Pengumuman

Ilmu Baru

Kolom Pengasuh

Dokumentasi

Pendidikan dan Kebudayaan

Seorang siswa dididik agar berbudi daya sehingga ketika tumbuh dewasa dan memasuki kehidupan sosial mampu memberdayakan akal budinya. Akal budi merupakan anugerah dan potensi yang amat mahal, tak ternilai, yang hanya dimiliki manusia sehingga manusia memiliki dua dunia: naturedan culture.

Untuk bertahan hidup, manusia mesti menjaga nature-nya yang bersifat permanen, tak berubah seperti nature untuk makan, minum, tidur dan berkembang biak, tetapi tugas dan misi kehidupannya adalah membangun kultur atau kebudayaan. Tugas guru adalah mencintai dan memfasilitasi agar anak didik mampu mengenali dan menumbuhkan potensi akal budinya sehingga dalam bahasa Arab pendidikan disebut tarbiyah. Kata tarbiyah masih seakar dengan kata Rabb, misalnya dalam kalimat Rabbul‘alamin. Juga kata riba yang artinya menumbuhkan uang.

Ada juga kata rabwah, artinya tanah tinggi. Jadi, pendidikan atau educare dalam bahasa Latin merupakan proses pembelajaran yang bertujuan menumbuhkan dan mengaktualkan potensi kemanusiaan serta bakat yang tersimpan dalam diri siswa sehingga pada urutannya mampu hidup mandiri, bahkan berkontribusi dalam menjaga dan membangun kebudayaan. Oleh karenanya sangat tepat jika pendidik juga disebut guru, yaitu mereka yang dengan sadar, penuh cinta kasih dan keterampilan, mengusir kegelapan atau kebodohan.

Dalam Alquran, para nabi utusan Tuhan itu disebut para guru pembangun kebudayaan dengan misi ”mengeluarkan manusia dari kehidupan yang gelap, jahiliah, menuju kehidupan yang terang secara spiritual dan intelektual”. Dalam berbagai ayat Alquran dikatakan, pengondisian dan pembersihan jiwa (tazkiyah nafsiyah) itu mendapat urutan pertama, menyusul kemudian materi pengetahuan kognitif. Tahapan mental conditioning ini analog dengan kinerja petani yang hendak menanam pohon. Sehebat apa pun jenis bibit pohon kalau tanahnya tidak dipersiapkan lebih dahulu, bibit pohon tidak akan tumbuh subur. Oleh karenanya sangat tepat ungkapan yang mengatakan keluarga adalah sekolah pertama bagi anakanak mengingat keluarga merupakan tahapan conditioningbagi anak-anak untuk belajar dan berkembang lebih lanjut.

Tiga Pilar Utama Kebudayaan

Dalam Alquran Allah menjanjikan untuk mengangkat derajat seseorang atau bangsa karena tiga hal: iman, ilmu, dan akhlak. Dalam konteks budaya, manifestasi iman adalah karakter atau integritas. Integritas dan ilmu akan membuat seseorang atau bangsa akan memiliki nilai lebih, bahkan berlipat-lipat. Contoh paling sederhana adalah teknologi gadget seperti halnya handphone ataupun komputer. Meski ukurannya kecil, ringan, harganya mahal karena di dalamnya terdapat investasi sainsteknologi tinggi yang mampu melayani kebutuhan manusia untuk berkomunikasi jarak jauh, kapan saja, di mana saja.

Gadget ini merupakan artifisial body and intelligent. Keterbatasan telinga sangat terbantu oleh teknologi handphone untuk berbicara jarak jauh. Kelemahan daya ingat manusia sangat terbantu oleh teknologi yang mampu menyimpan gambar dan informasi yang sewaktu-waktu dapat ditampilkan ulang. Dengan begitu, yang membuat harga handphone dan komputer mahal bukan semata karena teknologinya, melainkan memori-memori penting yang sudah tersimpan di dalamnya.

Dengan kata lain, iman, ilmu, dan budi pekerti akan mengangkat agar tidak berhenti menjalani hidup pada tataran nature layaknya hewan, melainkan naik ke tataran kultur, yaitu hidup yang berbudaya dan berkeadaban. Mari kita amati diri kita sendiri. Manusia ditakdirkan secara natural tidak pandai terbang, tetapi dengan prestasi sains dan teknologi manusia mampu menciptakan pesawat terbang yang jauh lebih besar dan perkasa ketimbang burung apa pun yang ada. Manusia ditakdirkan tidak mampu berenang menyaingi kehebatan ikan paus.

Namun atas takdir Tuhan yang menganugerahkan akalbudi, manusia bisa menciptakan kapal selam. Demikianlah seterusnya, melalui proses pendidikan manusia kemudian mengembangkan manajemen takdir untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Salah satu fungsi utama ilmu adalah memahami dan mengidentifikasi perilaku alam, perilaku sosial, dan humaniora. Dengan bantuan pemahamannya yang benar, manusia menciptakan teknologi untuk membantu penyelenggaraan hidup agar lebih nyaman dijalani. Tanpa iptek kita sulit menciptakan kesejahteraan hidup bagi miliaran penduduk bumi.

Namun ketika memasuki persoalan makna dan tujuan hidup, sebaiknya ditanyakan pada filsafat dan agama, bukan pada iptek. Di Indonesia, integrasi iman, ilmu, dan kemanusiaan sudah tercantum dalam Pancasila yang dimulai dengan ketuhanan, kemanusiaan, dan kemudian bermuara pada kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan kesejahteraan mesti memerlukan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun untuk menjaga dan menyemai nilainilai kemanusiaan kita memerlukan sumber yang transenden.

Dua pilar ini, ilmu, iman dan integritas, sangat vital untuk membangun kebudayaan unggul dalam rumah besar bangsa Indonesia, sebuah upaya yang mesti ditanamkan dan diperkenalkan secara sadar sejak anakanak masuk sekolah. Jadi, hubungan antarapendidikan dan kebudayaan bagi sebuah bangsa dan masyarakat tak dapat dipisahkan. Jatuh-bangunnya sebuah bangsa sangat berkaitan dengan arah dan kualitas pendidikannya dan pendidikan sangat dipengaruhi budayanya. Antara keduanya terjadi hubungan dialektis.

Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk yang hidup tersebar di ribuan pulau tentu memerlukan proses panjang untuk membangun sebuah ”negara bangsa” yang solid. Kata ”Indonesia” sendiri lebih merujuk pada posisi geografis, bukannya identitas etnis atau ras. Jadi, kekayaan dan keragaman budaya dan agama bisa jadi kekuatan, keunikan, dan keunggulan budaya kita, tetapi ini merupakan agenda dan usaha sejarah lintas generasi untuk mewujudkan serta menjaganya.

Medium paling utama adalah lembaga pendidikan. Namun, disayangkan, pemahaman anak-anak kita tentang keunggulan dan kekayaan budaya serta alamnya sangat minim. Mereka kurang mengenal ilmu bumi, sejarah, seni, dan kearifan lokal. Padahal Indonesia ini rumah kita tempat lahir, tumbuh, dan berkreasi membangun peradaban unggul. Mengingat kompleksitas peluang, tantangan, dan kekayaan budaya yang ada, pendidikan mesti memiliki strategi dan pilihanpilihan yang dibutuhkan zamannya. Pendidikan mesti menangkap the spirit of the nation. Sangat urgen agar para siswa memiliki pemahaman dan penguatan komitmen kebangsaan.

Mereka mesti disadarkan bahwa Indonesia sebagai bangsa masih dalam proses menjadi (in the process of becoming), kondisinya masih rapuh, belum solid. Adalah kewajiban orang tua dan guru untuk mendidik anakanaknya agar bangga menjadi anak Indonesia. Dan itu hanya bisa diraih kalau bangsa ini memiliki lembaga-lembaga pendidikan yang bagus, yang mampu bersaing dalam percaturan global. Untuk menumbuhkan rasa bangga pada siswa, mesti dimulai dari rasa bangga pada sekolah dan guru-gurunya. Sebuah tantangan besar dan sekaligus mulia bagi para guru dan pemerintah mengingat nasib masa depan bangsa akan sangat tergantung pada pilar pendidikan.

Komaruddin Hidayat; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 21 Februari 2014

sumber lain : https://profkomar.wordpress.com/

Mozaik Keindonesiaan Tercabik

Mengapa isu kebangsaan belakangan ini seringkali dimunculkan dalam forum seminar?  Bagi Indonesia ini sangat relevan, dan mungkin akan selalu relevan, mengingat kondisi sosial kita yang sangat plural dan potensial munculnya konflik serta segregasi sosial. Judul di atas merupakan refleksi kekhawatiran saja, mungkin saja bukan sebuah potret realitas. Namun membaca wacana di medsos, khususnya seputar pilkada DKI, berbagai letupan pendapat dan sikap emosional begitu menyolok.  Sejak awal berdirinya para pendiri bangsa sangat sadar bahwa masyarakat nusantara ini sangat majemuk dan sungguh tidak mudah untuk merawatnya. Makanya dimunculkan motto sebagai panduan perjalanan anak-anak bangsa menapaki hari depannya: Bhinneka Tunggal  Ika.

Indonesia sebagai entitas bangsa ýang utuh dan solid bukanlah warisan turun-temurun, tetapi merupakan cita-cita dan mimpi bersama yang belum jadi sehingga mesti diwujudkan dan diperjuangkan dari generasi ke generasi. Jadi, kata Indonesia dalam konteks ini mengandung kata kerja, yaitu mengindonesia.   Apa yang disebut bangsa Indonesia masih dalam proses pembentukan (formation) dan pendewasaan (maturitation), tetapi kita berbangsa dan  bernegara ini tidak mulai dari titik nol, tidak dari situasi masyarakat yang primitif. Di Indonesia tidak dikenal semacam suku Aborigin di Australia yang tersisihkan setelah negara hadir. Jadi, di Indonesia ada semacam konvensi tentang cultural right. An obligation to maintain and nurture the plurality of cultures and religions.

Jauh sebelum merdeka 17 Agustus 1945, di  nusantara ini sudah muncul peradaban agung yang dikembangkan dan dijaga oleh pranata sosial dan institusi negara berupa kerajaan dan kesultanan. Oleh karenanya, dalam motto Bhinneka Tunggal Ika terkandung penghargaan, pengakuan dan komitmen untuk menjaga pluralitas budaya dan agama yang ada, sehingga Indonesia merupakan tamansari kebudayaan, bukan saja tamansari kekayaan hewani dan nabatinya yang sedemikian kaya dan memikat. Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini muncul teori dan penemuan arkeologis-antropologis bahwa sesungguhnya di bumi nusantara pernah tumbuh peradaban agung yang jauh lebih tua dibanding negara-negara sub-tropis.

Salah satu alasannya cukup simple, mudah dimengerti. Bumi Nusantara yang melimpah dengan cahaya matahari, pertanian dan pepohonon yang subur, air yang serba berlebih, hewan mudah ditemukan di mana-mana, lautan yang luas dengan ikannya yang mudah ditangkap, kesemuanya itu membuat penduduk nusantara tidak perlu berjuang mati-matian menaklukkan ganasnya musim dingin ataupun musim panas. Penduduk nusantara serba disayang dan dimanjakan oleh alam sehingga banyak waktu untuk berkreasi seni dan melakukan ritual keagamaan.  Makanya kita mewarisi karya seni sangat tinggi baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tarian dan nyanyian nusantara sangat kaya, mencerminkan kebhinekaan karya seni yang berkualitas dan klasik. Namun, kata ahli, bangsa yang tidak ditempa dan diseleksi oleh ganasnya alam, mentalnya jadi lembek.

Membangun Jati Diri Bangsa   

Dengan modal kekayaan peradaban dan alamnya, sudah semestinya Indonesia memiliki jati diri dan identitas kebangsaan  dengan peradabannya yang unggul. Para pendiri bangsa sangat cerdas, bijak dan visioner  telah meletakkan dasar bernegara yang terumuskan dalam  Pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Kalau dianalogkan dengan formula Alqur'an, keduanya merupakan surat Alfatihah  yang menjadi pembuka, induk atau ringkasan seluruh ajaran yang dikandung dalam kitab suci Alqur'an. Dalam konteks perjalanan dan perjuangan bangsa,  isi Pembukaan UUD 45 dan Pancasila merupakan panduan dan acuan nilai- nilai dasar perjuangan bangsa, siapapun dan kapanpun pemerintahnya.

Hiruk-pikuk sosial politik belakangan ini sangat menyakitkan dan mengkhawatirkan jika cita-cita berbangsa ìni dikhianati. Beberapa dekade silam pernah ada upaya mendirikan Negara Islam yang tidak sejalan dengan ideologi kebangsaan.  Lalu menyusul pemberontakan komunisme. Belakangan muncul gagasan mendirikan kekhalifahan.  Sejauh ini kita lulus mengatasi berbagai turbulensi dan tragedi berbangsa meski dengan ongkos teramat mahal. Namun ternyata berbagai persoalan dan tantangan tak pernah surut. Tantangan yang muncul sekarang ini karakternya berbeda. Terdapat pengaruh dan kekuatan  multinasional baik dalam aspek ekonomi, politik maupun ideologi. Sementara itu  munculnya gelombang demokratisasi yang diikuti desentralisasi kekuasaan dan ekonomi tidak diikuti kesiapan mental dan wawasan bernegara secara rasional sehingga yang mengemuka adalah hiruk pikuk menyuarakan hak kebebasan tanpa dibarengi ketaatan pada hukum. Apa yang disebut sense of citizenship dan sense of civility dikalahkan oleh bising suara kerumunan massa, terutama kebisingan di media sosìal, yang penuh cacian dan saling hujat.Kalau dulu ada istilah floating mass, massa mengambang, maka sekarang ada floating political party. Partai politik yang mengambang, ke bawah tidak berakar kuat, ke atas tidak jelas prestasi pemikiran, karya dan kader-kader terbaiknya. Bahkan banyak yang jadi penghuni penjara.

Munculnya fenomena benua maya yang melahirkan a global networking society  yang cair dan tanpa batas menjadi tantangan lain yang  serius bagi agenda pembangunan jati diri bangsa. Logika pasar dengan kalkulasi untung-rugi secara material menjadi dominan. Sekelompok orang lebih merasa perlu pada passpor dan kartu kredit ketimbang Kartu Tanda Penduduk. Jaringan internet telah menjadi kebutuhan vital layaknya kita menghirup udara atau ikan menghajatkan air. Menghadapi ini semua, sesungguhnya masyarakat Indonesia dikenal sangat mencintai budaya dan tanah airnya. They are very much attached to their land and families.  Hal ini ditopang oleh kekayaan budaya, sumber alam dan  bahasa nasionalnya. Menjadi persoalan, dan juga agenda, adalah bagaimana membangun kebanggaan  berbangsa terutama bagi generasi mudanya. Kebanggaan akan muncul jika banyak role model dan prestasi yang diakui dunia. Bangsa ini haus prestasi yang membanggakan, tidak seimbang dengan aset yang dimiliki.Tapi, lagi-lagi, yang mengemuka di media sosial, wacana politik yang paling dominan, namun tidak produktif, sementara biaya tinggi.

Agama di Ruang Publik

Relasi agama dan negara di dunia Islam belum selesai, dan entah kapan akan selesai. Kemunculan Perda Syariah (Islam), misalnya, di beberapa wilayah telah menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian warga Indonesia. Bahkan  umat beragama non-muslim bisa jadi terinspirasi untuk memberlakukan perda syariah seseuai dengan aspirasi dan ajaran agama mereka.  Bayangkan, jika aspirasi keagamaan yang bersikap ekslusif didukung oleh institusi negara,  dikhawatirkan akan menimbulkan segregasi sosial  berdasarkan sentimen dan identitas keagamaan. Lebih lanjut lagi bisa menggerogoti kohesi nasional sebagai negara bangsa (nation state).  Daerah-daerah tertentu akan diatur dengan perda syariah masing-masing agama.   

Belakangan ini wacana yang menyangkut SARA, suku, agama, ras dan antar golongan mengemuka lagi dan bergerak merengsek ke panggung politik kenegaraan. Negara ditata dan diatur secara rasional di atas sekat-sekat SARA, sementara ruang publik dan media sosial dipenuhi emosi suku dan keagamaan lalu didesakkan naik ke panggung kenegaraan  dengan momentum menjelang pilkada atau pemilu. Pilkada DKI adalah satu kasus yang m enarik dicermati dan sekaligus memprihatinkan. Masing-masing pendukung paslonnya secara gencar memanfaatkan medsos untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Bahkan hoax dan fitnah bermunculan, entah siapa persisnya yang membuat.  Ekses pilkada DKI yang menggelindung begitu jauh. Keharmonisan hubungan antar sesama teman dan keluarga rusak gara-gara pilihan paslon yang berbeda.

Sekali lagi, ini mesti diantisipasi, jangan sampai keharmonisan sosial politik  yang telah kita bangun dan jaga dari waktu ke waktu akan rusak berantakan, sehingga ekonomi, politik dan budaya kita mundur. Gara-gara sepercik api bisa membakar rumah bangsa yang sedemikian besar dan indah. Salah satunya karena diblow up  media massa, yang  kemudian ditelan mentah-mentah oleh masyarakat.

Dalam masyarakat yang sedemikian majemuk, sikap toleran, empati, dan koperatif sangat diperlukan demi kepentingan yang jauh lebih besar, menjaga keharmnisan berbangsa dan mensejahterakan rakyat. Dalam sebuah pilkada, misalnya, ada yang melihatya friendly competition, ada yang menghayatinya sebagai zero-sum game. Padahal, siapapun yang ikut bertanding adalah mitra bagi lawannya, dan siapapun yang kalah sesungguhnya secara moral dia telah berjasa mengantarkan lahirnya sang pemenang.Makanya dalam sebuah kejuaraan, pemenang kedua juga layak mendapatkan hadiah. Ketika sentimen SARA mengemuka, pendekatan rasional akan dikalahkan oleh sentimen emosional yang berakar pada suku, agama dan kelas. Kesemuanya itu sangat bisa dipahami untuk konteks Indonesia, asalkan terkendali dan tidak menghancurkan aset dan prestasi yang ada. 

Satu hal yang saya khawatirkan adalah jika kita tidak sadar tengah  main api, hal ini sangat potensial mencabik-cabik mozaik kebhinekaan Indonesia. Sekali sudah tercabik dan melebar, maka butuh waktu lama untuk merajutnya kembali. Jika merujuk pengalaman di Timur Tengah, bahkan tidak saja robek kohesi sosial yang sudah lama terbangun, malahan pecah berantakan dan sebagian sulit dirajut kembali. Kekuatan asing terlibat masuk dengan dalih membantu atau menolong, padahal sangat mungkin mereka memancing di air keruh. Mereka jualan senjata untuk mendukung industri senjata sebagai sumber devisa  negaranya. Bahkan ada yang menjadikan perang sebagai proyek politik dan ekonomi. Pengalaman baru yang saya temukan belakangan ini, rupanya umat Islam doyan dan mudah sekali diadu domba dengan umpan perbedaan mazhab dan tafsir keagamaan sehingga tiba-tiba sesama muslim rusak hubungan harmonisnya.

Kemitraan Sejajar
Di saat ekonomi dunia melemah, posisi Indonesia termasuk yang mampu  bertahan. Kenyataan ini membuat Indonesia menarik investor asing dan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara industri untuk menjual produknya. Kondisi ini bisa jadi ada negara-negara yang kemudian merasa terancam dan tidak happy melihat Indonesia damai, rukun, maju dan secara ekonomi berusaha mandiri. Catatan lain yang juga menimbulkan kekhawatiran adalah semakin terbukanya iklim kebebasan untuk berunjuk rasa secara massiv bagi mereka yang selama ini merasa terdesak dan terpinggirkan dalam persaingan ekonomi dan politik. Sementara itu terdapat sekelompok kecil etnis namun menguasai mayoritas kue dan aset nasional. Kenyataan ini menimbulkan kecemburuan sosial dan kecemberuan kelas yang potensial jadi amunisi keresahan sosial.

Jadi, menghadapi situasi dan dinamika lokal, nasional dan global yang saling berhimpitan, tugas negara memang berat,  mesti tegas dan bijak. Satu-satu pangkal keresahan diurai dan dicarikan solusinya.  Adapun ormas dan parpol, khususnya yang mengambil peran oposisi,   salah satu agendanya adalah melakukan  kritik. Tetapi kritik yang rasional. Bagi ormas keagamaan yang selama ini aktif mengkritik pemerintah, perlu dipertimbangkan untuk mendirikan partai politik saja agar lebih jelas dan legal kiprahnya lalu ditawarkan pada rakyat visi dan programnya. Dalam sejarah  nusantara, ummat Islam punya andil besar dalam melahirkan dan membangun republik sebagai negara hukum sehingga implikasi moral politiknya ummat Islam juga harus berdiri paling depan dalam  menjaga dan mengawal tegaknya hukum. Bernegara itu berkonstitusi, konsekuensinya kita mesti dukung supremasi hukum dan mentaatinya.

Makalah Prof. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Seminar Nasional & Temu Kangen Alumni UNY Sabtu 18 Maret 2017 di Yogyakarta (Sumber: www.uny.ac.id)


Logo Elmunsih


logo hidup

Keindahan




Struktur Organisasi RA

Bagi yang ingin melihat lebih lengkap, bisa
langsung mendownloadnya 

Daftar Kegitan Daar El-Ittifaq

Silakan KLIK  tulisan "download" di bawah ini 
jika ingin mengetahui jadwal resmi kami :

Belajar dari Para Pemuda

Rabbmu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah yaitu kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran (HR. Ahmad)

Sebentar lagi momen ini akan tiba, dan pada tanggal 28 Oktober biasa kita peringati sebagai hari sumpah pemuda yang berisi bertumpah darah satu, yaitu tumpah darah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda, waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Sumpah pemuda pertama diikrarkan untuk menumbuhkan semangat perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu masih dijajah oleh Belanda. Perumus sumpah pemuda adalah Moh. Yamin.

Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 proses penting menuju lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu.

Kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli. Tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

Belajar dari Ashab al-Kahf
Kisah sumpah pemuda mencerminkan bahwa pemuda adalah masa di mana semangat yang tinggi, menggelora, pantang menyerah, dan tak tergoyahkan dalam menggapai sebuah harapan. Semangat inilah yang menjadi hal positif dalam diri pemuda. Di dalam al-Quran Allah  mengisahkan pemuda yang kukuh dalam keyakinannya kemudian melawan rezim kekuasaan di masa itu, sehingga mereka lari kedalam gua dan kemudian Allah  menidurkannya selama tiga ratus tahun lebih. Allah berfirman di dalam surat Al-Kahfi [18] ayat 10-12:

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian kami bangunkan mereka, agar kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).

Mereka adalah para pengikut Isa yang melarikan diri dari kekejaman Romawi untuk mempertahankan tauhid yang mereka anut, mereka ditidurkan kurang lebih selama tiga ratus tahun dan kemudian dibangunkan kembali untuk membuktikan kekuasaan Allah I dalam membangkitkan manusia pada hari kiamat kelak.

Dalam tafsir Al-Misbah, kata fityah adalah bentuk jamak dari fata yang artinya remaja. Kata ini bukan saja mengisyaratkan kelemahan mereka dari segi fisik dan jumlah yang sedikit, tetapi juga usia yang belum berpengalaman. Namun demikian, keimanan dan idealisme pemuda itu meresap dalam benak dan jiwa, sehingga mereka rela meninggalkan kediaman mereka untuk mempertahankan idealisme yang ada dalam dirinya. Idealisme anak muda memang seringkali mengalahkan kebijaksanaan dan pengalaman orang tua, itulah kenapa Nabi Muhamad r mengingatkan agar memberi perhatian kepada para pemuda.

Belajar dari Nabi Ibrahim AS.
Selain kisah dari ashab al-Kahfi ada juga kisah dari Nabi Ibrahim As. Menurut al-Biqa’i kedudukan Nabi Ibrahim As adalah sebagai pengumandang tauhid, melalui pengalaman ruhaninya. Ia menemukan tuhan yang maha esa dan meyakininya, bahwa dia bukan tuhan suku, atau tuhan masa tertentu, tetapi tuhan seluruh alam. Sehingga Nabi Ibrahim As wajar menyandang gelar pengumandang ketuhanan yang Maha Esa.

Nabi Ibrahim datang dengan memperkenalkan Tuhannya sebagi Tuhan seluruh makhluk yang menyertai mereka dalam keadaan sadar maupun tidur, menyertai mereka bukan hanya dalam kehidupan dunia ini tapi berlanjut hingga hari kemudian.

Nabi Ibrahim u lahir di daerah Babyl, ayahnya bernama Azar. Ayahnya sangat dicintai oleh Raja Namrud, karena ia sangat pandai mambuat patung berhala dan patuh kepada Raja Namrud. Walaupun Ibrahim  anak seorang pembuat berhala, tapi tidak lantas mengikuti ayahnya. Allah memberikan hidayah kepada Nabi Ibrahim As untuk tidak menyembah berhala dan menolak ajaran sang ayah. Nabi Ibrahim As ketika remaja, ia sudah berpikir tentang adanya alam ini. Apa yang terlihat matanya seperti bintang, rembulan, matahari, dan lain-lain kemudian ia timbang-timbang siapakah mereka itu semua.

Nabi Ibrahim As heran melihat arca yang disembah padahal tidak bisa bergerak tidak bisa mendegar. Tidak bisa menjawab terhadap apa yang dimintakan oleh yang menyembahnya, serta tidak mendatangkan kemadharatan dan mendatangkan manfaat bagi yang menyembahnya. Kemudian Nabi Ibrahim  bertanya kepada ayahnya. “Kenapa patung itu disembah?” Ayahnya menjawab “Ini sudah mejadi sesembahan nenek moyang kita dan sudah menjadi warisan turun temurun”. Allah berfirman dalam Surat al-Anbiya : 52-54

(ingatlah), ketika Ibrahim Berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah Ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”.

Nabi Ibrahim As memiliki rencana untuk menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh Kaum Namrud. Ketika Raja Namrud beserta kaumnya mengadakan upacara, tempat menyembah berhala itu sepi, maka Nabi Ibrahim As menjalankan rencananya untuk memenghancurkan patung patung tersebut. Nabi Ibrahim As menghancurkan berhala-berhala, dan yang disisakan hanya satu yang besar kemudian kapak yang dipakai oleh Nabi Ibrahim As di kalungkan di leher patung yang besar itu.

Beberapa saat kemudian  Raja Namrud dan para pengikutnya menemukan berhala-berhala itu telah hancur maka pelakunya sudah jelas yaitu Ibrahim . Dipanggilah Nabi Ibrahim, di sana Nabi Ibrahim berdebat dengan kaum Namrud, ia berusaha melawan kaum Namrud dengan kebodohan mereka sendiri. Al-Quran mengabadikan percakapan Nabi Ibrahim dengan Kaum Namrud dalam surat al-Anbiya [21] ayat 61-63.

Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang melakukannya, Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka mereka Telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)“.

Karena mereka marah terhadap Ibrahim maka akhirnya kemudian Kaum Namrud menyediakan kayu bakar untuk membakar Nabi Ibrahim, yang telah menghancurkan sesembahan mereka. Akhirnya pertolongan Allah pun datang, dan memberikan mukjizatnya kepada Nabi Ibrahim. Api yang sifatnya panas, dan dapat membakar, ternyata tidak melukai tubuh Nabi Ibrahim sedikitpun. Berkat idealisme Nabi Ibrahim sewaktu muda, tidak mau menyembah sesembahan yang telah turun-temurun, mengantarkan nabi Ibrahim menemukan tuhan yang sebenarnya, diselamatkan oleh Allah dari kekejaman kaumnya dan mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah).

Penutup
Kisah para pemuda di atas, memberikan gambaran yang nyata kepada kita, bahwa idealisme yang dimilki oleh para pemuda merupakan idealisme yang tinggi dan mampu mengalahkan kebijaksanaan orang tua. Kemerdekaan Indonesia ini tak lain adalah buah dari idealisme para pemuda yang mendesak Presiden Sukarno untuk segera mengumumkan kemerdekaan dengan dasar Jepang sudah mundur dan mengaku menyerah. Momen ini dianggap tepat oleh para pemuda untuk segera mengambil alih (untuk merdeka).

Lalu, dua kisah yang ada di dalam al-Quran merupakan hikmah yang harus kita ambil dengan sebaik-baiknya. Para pemuda yang ditolong oleh Allah  dan ditidurkannya selama tiga ratus tahun lebih merupakan keteguhan para pemuda dalam memegang ketauhidannya. Begitupula dengan kisah Nabi Ibrahim As yang dengan keingin tahuannya yang tinggi ia berusaha untuk mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Akibat mempertahankan keyakinannya inilah ia dibakar oleh Kaum Namrud, dan seketika itu pula pertolongan Allah u datang.

Terakhir, pemuda adalah pejuang masa depan, yang di tangannya ada harapan baru dan semangat baru yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang baru pula. Mudah-mudahan negeri ini memperoleh generasi baru yang mampu memberikan kedamaian dan kesejahteraan, serta menjadi pelindung bagi semua makhluk di era disruptif ini. Harapan terkhusus, yaitu agar pemuda yang menjadi tumpuan masa depan, mampu memberikan dampak yang positif bagi keberlangsungan Negara Indonesia tercinta ini.
___